Laman

02 Juni 2014

Menghayati Sikap Seorang Petahana

Seolah tersihir oleh mars pemilihan umum orde baru, seluruh rakyat tampaknya bergembira dipanggil untuk turut serta dalam pemilihan presiden. Jelas ini hak demokrasi di negara yang berideologi pancasila. Tentu saja ini hikmah Indonesia Merdeka. Rakyat pun sadar bahwa ini adalah cara untuk membuat Indonesia lebih baik. Paling tidak ini adalah momen menyalurkan hasrat berpolitik rakyat yang sudah mendarah daging sejak ken arok menancapkan keris ke tubuh Akuwu Tumapel sekaligus menyatukan lingga-yoni dengan Ken Dedes. Mau pilih menjadi Kebo Ijo atau Anusapati atau Toh Jaya, dipersilahkan. Yang sebaiknya dihindari adalah menjadi Mpu Gandring dan Tunggul Ametung.
Saat ini, saking semangatnya semua bentuk media social yang saya ikuti penuh dengan omongan berbau politik. Mailist, facebook, twitter, Group whats App, semuanya yang dibahas hanya Dik Joko dan Mas Bowo. Kita tahu siapa membela siapa atau siapa membenci siapa hanya dari beberapa kata kunci saja. Jika kata kuncinya tegas; anti asing; gagah; panglima; berdaulat, kemungkinan dia memilih Mas Bowo. Kalau kata kuncinya santun; kalem; rendah hati, kemungkinan dia memilih Dik Joko.  Kalau kata kuncinya HAM, 1998, Penculikan, kita tahu siapa yang dibenci. Kalau kata kuncinya tidak konsisten, agen asing, Jakarta, boneka, kita tahu juga siapa yang dibenci.
Soal siapa yang disanjung dan dikagumi, kita bisa menerka siapa pilihannya untuk menjadi presiden mendatang.  Lain lagi soal siapa yang dibenci. Kita tidak bisa menerka siapa yang nantinya dipilih dari hanya melihat sipa yang dibenci. Bisa jadi karena kebencian itu akhirnya justru tidak ada yang dipilih. Bagaimana pun pilihan itu selera dan selera tidak bisa dilogika. Sama dengan tidak logisnya berita yang bernada menjelekkan soal kuda, keris, istri, keturunan pribumi atau bukan, dan lawakan tak lucu soal obituari. Naga-naganya sanjungan belum cukup semarak sehingga cacian, umpatan, dan fitnah perlu dikeluarkan.
Sanjungan boleh jadi tidak ada yang mempermasalahkan. Logikanya, kalau hanya sanjungan tidak akan ada orang yang merasa tersakiti. Menyebut si Budi baik hati tidak akan membuat orang jengkel, kecuali si Badu yang memang punya masalah pribadi dengan si Budi. Kebalikannya cacian, orang yang bahkan tidak punya hubungan pribadi secara langsung pun akan terusik. Menghina bahwa durian montong itu bau  dan tak layak dimakan akan membuat siapa pun yang gemar makan durian akan balas mengatai si penghina sebagai orang bodoh. Sebagai pertahanan, si penghina akan kembali mecaci. Durian tak dimakan, liur tetap menetes, ludah menjadi kering karena banyak terbuang untuk saling caci. Apa untungnya?.Fitnah lebih kacau lagi. Namanya saja fitnah, sumbernya siapa dan untuk siapa juga tidak jelas.  Kalau dibilang bahwa pelempar fitnah soal sesuatu dalah kubu A, bisa jadi itu juga fitnah yang dilemparkan kubu B. yang jelas, fitnah hanya akan menyulut pertikaian, lainnya samar.
Di soasial media, beberapa profil mulai mengeluh teman-temannya saling memusuhi satu sama lain. Politik punya garisnya sendiri. Kebo ijo mati hanya karena dia mengikuti Ken Arok. Tak ada benci di benak Ken Arok, pembunuhan kebo ijo hanya lah kepentingan professional semata. Maka, begitulah hasrat politik. Tidak ada teman abadi, pun musuh abadi. Jadi tenang saja. Suatu saat ketika saling membutuhkan, toh akan kembali rujuk kalau tidak keburu mati dalam dendam. Ken Arok, Kebo Ijo, Anusapati, dan Toh Jaya, walau pun semua mati tetapi semua sempat menikmati garba kekuasaan. Empu Gandring yang merupakan tokoh kunci yang membawa semua gegap gempita perebutan kekuasaan mati tanpa sempat menikmati kekuasaan itu sendiri. Lagipula, bagaimana bisa seorang empu menikmati kekuasaan?. Jelas bukan kodratnya.
Seandainya Tunggul Ametung tahu Empu Gandring akan membuat senjata yang sangat dahsyat, yang harus dilakukan Tunggul Ametung adalah memberi isyarat kepada sang Empu bahwa sebaiknya meteorit yang mengandung radio aktif itu tidak dijadikan keris. Membuat meteorit menjadi keris memang prestasi besar, sama besarnya dengan menemukan serat karbon. Bedanya keris adalah senjata. Senjata harus digunakan sesuai kegunaannya yaitu membunuh lawan. Kalau tidak untuk membunuh ya paling tidak dipamerkan agar lawan menjadi ngeri. Semuanya tentang menjatuhkan lawan. Merajang bawang dengan menggunakan keris, akan sangat disayangkan. Lain lagi dengan serat karbon, kegunaannya lebih banyak. Apa tidak sebaiknya empu gandring melakukan tapa brata guna menemukan serat karbon saja?.
Tunggul Ametung adalah petahana Akuwu Tumapel. Sebagai petahana kodratnya adalah lengser. Sebagai petahana, sebaiknya tahu bahwa lengser paling baik itu adalah lengser tanpa kehilangan. Petahana penguasa Indonesia saat ini sadar betul tentang hal itu. Entah sengaja atau tidak, saya anggap dia memberi isyarat kepada kita apa yang harus dilakukan agar tidak menjadi Empu Gandring. Partai yang membuat dia berkuasa dia arahkan agar tetap netral. Netral di era demokrasi sekarang ini sebetulnya adalah hal yang makruh. Makruh karena menjadi golongan putih yang tidak memilih adalah sangat tidak dianjurkan.  Saat pilihannya adalah memilih Dik Joko atau Mas Bowo, netral artinya tidak memilih alias Golput.
Berdasarkan pengalaman saat pemilu legislatif kemarin, pilihan yang menang adalah pilihan golput. Lebih dari 30% penduduk Indonesia dalah golongan putih. Golongan  yang tidak memilih. Dengan demikian, kalau kita cerna sebetulnya bisa jadi partai Democrat yang dibina dan diketuai oleh petahana penguasa kita menangkap suara terbanyak itu. Golput harus ada yang mewadahi. Biarkan partai-partai lain berkoalisi dan menentukan siapa yang mereka dukung. Partai democrat harus tetap netral sesuai suara terbanyak penduduk Indonesia. Seandainya partai democrat diperkenankan berkoalisi dengan golput, maka dia tidak perlu berkoalisi dengan partai lainnya untuk mencalonkan presiden.  Hanya seandainya.
Kalau saya djadi petahana penguasa, akan saya anjurkan rakyat berhenti saling ejek. Soal kuda dan keris biarlah demikian. Toh patung-patung orang yang berkuda dan berkeris adalah patung-patung orang yang sudah wafat. Menyembah patung adalah perbuatan syirik yang dosanya tidak diampuni oleh Tuhan. Soal keturunan Cina, petahana sudah menghapuskan kata Cina dan menggantinya dengan Tiongkok. Di Indonesia tidak ada lagi Cina, yang ada adalah Tionghoa yang diakui sebagi warga negara Indonesia, dari Tiongkok lah leluhur mereka berasal. Tak ubahnya Habib yang berasal dari Arab dan Indo yang berasal dari Eropa, semuanya warga negara Indonesia. Asalkan bisa membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia sejak lahir dan terbukti tidak pernah menjadi warga negara lain, maka boleh menjadi presiden. Biar pun pernah tinggal di yordania atau di solo, sama-sama tidak pengaruh terhadap pencalonannya. Mau naik kuda dengan keris atau naik mobil karoseri anak-anak SMK, sama-sama tidak diatur oleh konstitusi kita. Seandainya Abrahah naik gajah pun, aturan pencalonan presiden kita tak mempersoalkannya. Kenapa tidak dipersoalkan?. Tanyalah kepada para kontestan pemilu.
Soal polemic ibu negara, kalau saya menempatkan diri sebagi petahana penguasa Indonesia sekarang saya akan bilang  begini:
“tidak ada ibu negara atau ada ibu negara yang kalem andap asor, semuanya baik. Saya sudah membuktikan bahwa bila orang yang mendampingi saya kemana-mana saat kunjungan banyak tingkah, hanya menyebabkan foto saya, anak, dan cucu-cucu saya yang tidak berdosa terpampang di instagram. Perlu saudara sekalian ketahui, kecanduan media social seperti instagram tidak bisa dihentikan. Ada beberapa, bahkan sering rakyat saya menyindir keberadaan instagram. Tetapi ini lah alam demokrasi. Saya hanya prihatin dengan keburukan media social. Yang mampu menghentikan kecanduan media social hanyalah menteri kominfo”
Kemudian kalimat tersebut sebagai petahana akan saya sambung.
“saya memilih menyerahkan pilihan kepada rakyat. Bagaimana pun suara seorang rakyat dapat berpengaruh terhadap masa depan bangsa ini. Saya memilih netral, partai saya dalah partai netral. Pak Danhal yang ikut konvensi partai saya, saya persilahkan mendukung Dik Joko, begitu pun simpatisan partai saya yang lain, saya bebabaskan untuk memilih. Dengan netralnya partai saya, maka InsyaAllah tidak ada lagi media pemerintah yang berpihak pada calon tertentu sebagaimana amanat undang-undang”
Sebagai pendiri partai, netral dapat menjadi cara agar dapat berkonsentrasi pada pembersihan nama baik partai. Mencuci bekas makan selama sepuluh tahun membutuhkan waktu bertahun-tahun pula. Sebagai petahana, member contoh dengan membersihkan partai terlebih dahulu adalah tindakan yang sesuai dengan pepatah guru bangsa. Ing ngarso sung tuladha. Mengakomodir suara terbanyak merupakan bagian dari ing madya mangun karsa dan mengikuti kodrat yang diamanatkan undang-undang adalah laku yang bisa dianggap setara dengan tut wuri handayani. Sebagai petahana, sebaiknya tidak ikut larut dalam perebutan kekuasaan sebaliknya memimpin sebagaimana biasanya dan meninggalkan dasar yang baik bagi penerusnya. Menawrakan diri menjadi penegah antara Vietnam dan Tiongkok salah satunya. Menjadi netral dapat lebih focus pada pekerjaan sebagai petahana. Urusan partai dapat dilakukan selama lima tahun mendatang.
Dengan demikian, alasan kenetralan dapat diterima untuk membuat rakyat adem ayem, mencegah pertumpahan darah, menghormati prinsip demokrasi, mengakomodir suara terbanyak, mencegah semua bentuk penyelewengan yang dilakukan partai penguasa, dan membersihkan partai. Sebagai rakyat, kita harus jalan terus dan bersatu. Kita harus berkarya dengan hal yang lebih bermanfaat bukan hanya untuk menjatuhkan lawan dan gaya semata. Hip,hip?huraa!!hip,hip?huraaa!!.
Langkah petahana kita akan dikenang disuatu masa ketika rakyat benar-benar jenuh dengan perebutan kekuasaan. Akan ada stiker bergambar petahana kita dengan tulisan “piye kabare bro?luwih penak netral tho?

Jakarta,1 juni 2014. Sambil lalu mengenang hari lahir Pancasila.

Pendapat pribadi, hanya untuk hobi.

07 Mei 2014

PNS dan Segala Jalan Hidup Seorang Real Sukmana



Saya ingin memulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang biasa muncul dalam berbagai jajak pendapat. Sudah berapa sering sampean masuk blog saya?. Ini pertanyaan penting, karena dari blog saya paling tidak sampean bisa menerka-nerka tipe orang seperti apakah saya. Pertanyaan penting lainnya adalah sejak kapan sampean mengenal saya secara pribadi? Lantas bagaimana kesan sampean tentang saya?. Kalau sampean berpendapat saya orang yang slengean; keras; banyak mulut; terlalu banyak berpikir;  konyol; dan lain sejenisnya, maka sampeyan termasuk mayoritas orang yang sering bertemu saya. Orang yang sering bertemu saya pasti berpikir kalau saya orang yang tidak akan memilih menekuni profesi sebagi pegawai negeri sipil (PNS).

Kenapa saya yakin orang-orang berpikir saya tidak akan masuk PNS?. Buktinya terlalu banyak. Seorang teman bertanya “hah, yang benar Real masuk PNS?”. Teman dekat saya  menambahkan “yakin mau jadi PNS” . Seorang lagi menggoda “pugh kown, PNS kown, Kapok kown”. Kalau sampai mereka bertanya seperti itu, tentu mereka punya dasar. Tanpa dasar dan alasan, tidak mungkin teman-teman saya akan meledek saya seolah menjadi PNS adalah bencana. Alasan mereka tentu saja gaya saya yang slengean, keras kepala, tidak disiplin, dan tentu saja anti kemapanan. Belum lagi komentar nyinyir getir saya soal birokrasi, orang-orang yang bekerja dengan waktu rutin 9-17, segala keburukan PNS, mayoritas orang yang berbondong-bondong ikut tes CPNS, dan soal bagaimana saya menentang dengan gigih keinginan orang tua saya agar anaknya menjadi PNS. Tentu saja saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Tengoklah daftar cita-cita saya, tak ada satu pun yang mendekati profesi PNS.  Jika saya diajak berbicara mengenai profesi sebagai pegawai negeri sipil jawabannya selalu sama “TIDAK”.

Penolakan saya terhadap profesi PNS sampai-sampai membuat alam bawah sadar saya mencibir setiap kawan saya yang akhirnya berprofesi sebagi PNS. Entah sadar atau tidak, Oom Pam yang menjadi karib saya sampai melakukan metode khusus saat dia diterima menjadi PNS 4 tahun lalu. Oom pam mengajak saya makan durian berdua khusus untuk menyampaikan kabar gembira itu. Kalau saya jujur dengan perasaan saya waktu itu, saya merasa dikhianati. Benar-benar parah bukan, penolakan saya?!.

Banyak hal yang membuat saya menghindari berprofesi sebagai PNS. Yang paling saya camkan adalah, PNS korup. Saat lulus SMA ketika saya disuruh orang tua saya mendaftar ke sekolah kedinasan keuangan, saya bilang ke bapak saya “Terlalu basah, saya takut ikut korupsi”. Belum lagi akhir-akhir ini media massa sering memberitakan bagaimana pejabat tertangkap kasus korupsi yang merugikan Negara sampai bermilyar-milyar rupiah. Soal PNS korupsi, jawaban bapak saya baik dulu baik sekarang sama saja “biar jadi petani, kalau mau korupsi ya tetap bisa korupsi”. Saya diam, tapi bapak saya tak bisa berkomentar saat saya mengurus e-KTP di Kecamatan. E-KTP saya sampai sekarang tak kunjung jadi. Dua kali saya dipotret, dua kali pula kesalahannya sama yaitu foto saya tertukar dengan adik perempuan saya. Saya juga memaki-maki di depan bapak saya setiap PNS yang gayanya sok dan suka mengulur-ngulur waktu pengurusan administrasi. Saya lihat banyak PNS yang makan gaji buta. Tidak ada pekerjaan yang dikerjakan di jam kerja.

Walaupun saya sudah menjelek-jelekkan PNS, bapak saya tetap berpendirian saya harus jadi PNS. Bapak saya pernah marah-marah hanya karena salah paham dengan adik saya soal pendaftaran PNS. Karena adik saya menunggu tunangannya untuk mendaftar bersama, bapak saya berfikir adik saya tidak mau masuk PNS. Mengadu lah bapak saya ke saya, saya bilang “ya kan pekerjaan engga Cuma PNS”. Celakanya bapak saya merajuk sengit “buat apa Bapak sekolahin tinggi-tinggi kalau disuruh jadi PNS saja tak mau”. Mampus saya, saya kan juga menolak disuruh jadi PNS. Bapak saya ingin anak-anaknya menjadi PNS karena alasan kejelasan status. Bagi bapak saya, menjadi PNS berarti hidup tenteram dengan gaji tiap bulan, ASKES dan uang pensiun. Saya bilang, saya bisa hidup tenteram tanpa gaji tetap. Soal kesehatan saya bisa ikut asuransi, soal uang pensiun saya akan berinvestasi dan juga ikut asuransi. Bapak saya berkilah lagi “kamu bisa ikut segala asuransi itu kalau kamu jadi PNS”. Intinya saya harus menuruti keinginan bapak saya, kalau tidak menuruti, saya bisa durhaka.

Untungnya saat saya lulus, moratorium PNS sedang dimulai. Pemerintah tidak membuka lowongan PNS untuk tiga tahun ke depan. Artinya saya bisa sejenak bernafas lega. Tapi tiga tahun moratorium adalah tiga tahun penuh perdebatan. Saya tidak boleh bekerja di luar jawa, saya disuruh lanjut S2. Saya juga sedang malas lanjut S2. Maka saya mengiyakan untuk mengelabuhi dan bilang saya mau ikut proyek-proyek jangka pendek di kampus sehingga bisa tetap kuliah S2. Akhirnya masa itu pun tiba. Masa dimana saya tidak bisa menolak untuk mendaftar tes CPNS. 

Saya tak hilang akal, kalau saya harus mendaftar tes CPNS harus yang kira-kira sudah pasti tidak lolos, kalau toh lolos harus profesi yang saya suka, yaitu peneliti. Profesi yang lumayan jauh dari kegiatan administrasi. Mendaftarlah saya di LIPI. Saya tahu, kalau saya mendaftar di LIPI maka saya tidak akan lolos syarat administrasi. Saya tersingkir, IPK saya tidak memenuhi syarat mendaftar. Saya laporkan ke bapak saya. Dijawabnya “engga apa-apa nak, profesi engga cuma PNS”. Alhamdulillah, bapak saya akhirnya tersadar. Lanjutan obrolan soal pendaftaran tes CPNS adalah “kalo yang Kemenhut gimana?”. Kacau, kenapa hilang kesadaran lagi ini orang tua?!!. “belum pengumuman, Pak” jawab saya. Saya hanya mendaftar dua instansi. LIPI dan Kementerian Kehutanan. Bapak saya akan marah kalau saya tidak mendaftar di Kementerian Kehutanan, terang saja karena saya sarjana kehutanan.

Di sela pendaftaran dan pengumuman saya melamar teman seangkatan saya. Dia tidak bisa langsung memutuskan saat itu juga. Saya beri waktu sampai akhir tahun, yaitu tanggal 31 desember 2013. Di tengah masa penantian, dia cerita kalau sebetulnya dia ingin punya suami PNS. Celaka Sembilan belas, kenapa calon istri saya ingin saya juga jadi PNS. Saya ceritakan keinginan calon istri saya itu ke orang tua saya, tak ayal oaring tua saya langsung merestui kinginan saya untuk melamarnya. Calon istri saya itu juga mencoba menyemangati saya untuk tes CPNS dan memastikan kalau dia memilih saya jadi suami bukan karena saya diterima PNS atau tidak. Dia ingin saya focus tes CPNS dn meraih hasil maksimal. “kalau aku mantab, kamu akan tetap aku terima jadi suami walau pun tidak lolos tes CPNS tahun ini” kata calon istri saya. “tapi, kalau tidak lolos tahun ini, kamu harus coba lagi tahun depan” imbuhnya. Ah, ini seperti hukum matematika saja.

Setelah dua kali tes, pengumuman hasil menunjukkan bahwa saya diterima untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan. Jabatan saya bukan peneliti, saya penelaah data. Sebetulnya saya bisa memilih jadi peneliti, tapi kantor yang menerima semua di luar jawa. Akan susah kalau saya diterima di kantor luar jawa. Bapak saya ingin saya bisa pulang, kalau bapak saya ingin saya pulang. Lagi-lagi soal bapak saya. Bapak saya girang bukan kepalang, ibu saya bersyukur, calon istri saya grogi karena waktu pengurusan syarat-syarat sangat mendesak. Bapak dan ibu saya bilang “Kalo bukan merupakan karena calon istrinya, Real engga akan mau jadi PNS”. Duh, sudah saya korbankan keinginan saya untuk tidak jadi PNS demi keinginan orang tua, masih saja saya dianggap bukan anak penurut.

Akhirnya lamaran saya diterima, dan saya menikah. Bapak ibu saya senang bukan kepalang, walaupun tetap punya pikiran kalau saya menjadi PNS karena keinginan istri. Faktanya adalah  saya melamar istri saya setelah saya mendaftar tes CPNS, jauh hari sebelum saya tahu istri saya ingin punya suami PNS. Alamak susahnya menyenangkan hati orang tua. Apa pun hasilnya, saya harus tetap bersyukur. Karena saya takut Tuhan marah karena saya kufur nikmat. Dan di sinilah saya, mengisi blog saat jam kerja. Mumpung belum masa sibuk, karena saat kesibukan datang seperti dua hari lalu, menjawab SMS pun saya tak sempat.

Jakarta, 8 Mei 2014.

22 September 2013

Respon Masyarakat, dan Media Massa


Dunia dewasa ini memang tak habisnya bergejolak, sehingga butuh untuk terus diikuti perkembangannya. Direspon paling tidak. Respon pun bermacam cara yang mewakili kadar atau tingkatannya. Ada respon dalam bentuk perbuatan, melalui lisan, bahkan hanya melalui kebathinan. Tentu tingkatan respon tersebut saya adopsi dari hadits Nabi soal keimanan. Saya pikir respon dan keimanan mempunyai kesamaan, yaitu berkaitan dengan kualitas karakter orang per orang atau entitas per entitas.

Di benak saya, respon dalam bentuk perbuatan di tahun-tahun pasca reformasi ini lebih banyak berkonotasi negatif. Ini karena apa yang heboh diberitakan berkaitan dengan perbuatan beberapa bagian masyarakat kita dalam merespon suatu isu. Taruhlah isu agama. Dalam tema-tema berita berkaitan dengan respon masyarakat terhadap isu agama, hampir selalu diberitakan mengenai sweeping suatu kelompok masyarakat dengan paham tertentu terhadap kelompok yang tak sepaham tak sejalan. Respon semacam ini saya kategorikan sebagai respon dari tingkatan manusia yang tidak berkedudukan tinggi di mata masyarakat. Seandainya kelompok masyarakat yang pertama tadi memiliki kedudukan yang lebih tinggi, tentu responnya akan lain lagi. Entitas manusia yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat biasanya merespon dengan cara yang halus, legal dan bisa diterima masyarakat. Contoh entitas-entitas yang berkedudukan tinggi di masyarakat antara lain disebut Tokoh, Pejabat, atau Aparat. Bentuk responnya bisa berupa mengeluarkan fatwa, anjuran, dorongan, bahkan penjagaan atau yang kegiatannya kasar tapi legal yang disebut penindakan.


Sayangnya respon yang halus dan legal tanpa cela tidak direspon oleh media massa dengan pemberitaan yang gencar, kecuali bila dilakukan oleh pemegang saham suatu media massa. Alasannya sederhana, berita yang halus dan legal tidak memancaing reaksi yang berlebihan dari masyarakat. Berita akan menjadi gencar bila ada masyarakat yang tidak suka dengan apa yang diberitakan. Inilah kesukaan media massa, respon pangkat tiga, artinya berita yang bisa dilipat gandakan tiga kali. Diawali dengan berita soal isu agama kemudian berlipat menjadi berita mengenai respon kelompok tertentu, lalu kemudian muncul anjuran para tokoh, dorongan dan fatwa pejabat, disusul penindakan aparat, dan diperbesar oleh respon masyarakat terhadap apa yang dilakukan oleh tokoh, pejabat dan aparat. Media massa dapat merespon semuanya dengan baik dan menguntungkan.

Respon media adalah respon lisan. Kabar berita pada dasarnya adalah suatu respon lisan. Jaman dulu, orang berkabar dari mulut ke mulut. Jaman sejarah memungkinkan manusia menulis dan mebaca suatu kabar. Pada jaman teknologi canggih, segala amcam cara menjadi mungkin. Namun, logika yang dipakai tetaplah logika lisan. Respon media adalah respon dari pihak netral. Duduknya di mana kabur sudah kita merabanya. Saya pikir media massa juga tak peduli soal kedudukan mereka di mata masyarakat.
Gambar diambil dari sini
Respon lisan dari orang yang tidak punya kedudukan tinggi dilakukan langsung oleh si empunya. Untuk apa pula diwakilkan. Toh, omongannya tidak mewakili siapa-siapa, bukan?!.Lain lagi bila respon lisan dilakukan oleh orang berkedudukan tinggi. Dia duduk merespon lisan mewakili lembaga di mana dia duduk, entah itu formal, informal, maupun non formal. Nah, pejabat yang duduk di lembaga-lembaga formallah yang tak bisa kemana-mana. Lisan harus dijaga, karena lisannya adalah duta. lebih-lebih bila ia seorang kepala. Agar lisan tak perlu berbusa-busa tak berguna, maka dibayarlah orang yang siap berbicara tepat guna. Hatta, disebutlah si penjual jasa dengan tukang, Juru kalau mau lebih sopan. Jadilah penjual jasa berbicara disebut juru bicara. Jubir singkatannya. Perkara janggal atau tidak pemenggalan katanya, dari "Juru" menjadi "ju" dan "bir" untuk bicara, lumrah saja bagi masyarakat Indonesia. Hal yang dianggap lumrah tidak layak dijadikan berita. Jubir menjadi incaran media. Tugas utamanya memang menghadapi media massa. Jubir harus siap merespon segala macam isu tanpa memancing respon balik.

Ada respon lain yang tak diketahui orang lain, yaitu diam membatin saja. hanya dua entitas yang melakukan respon semacam ini. Orang yang tidak lagi peduli, dan orang yang bijaksana. Saya orang yang ingin menjadi bijaksana, artinya saya belum bijaksana. namun, saya tidak suka disebut tidak peduli. Sekedar mencari keberadaan diri di dunia maya, saya tulis artikel ini. No offence, no hurt feeling kata orang Inggris. Demikianlah menurut saya dunia ini dipenuhi oleh media massa. Semoga Yang Maha Kuasa melapangkan kasih sayangNya.

*dibuat. 15-7-2013